Sesudah To Appatunru Arung Palakka Petta Malampe’E Gemme’na Mangkau ri Bone Torinsompae ri Gowa Mattinroe ri Bontoala Raja Bone ke-15, (1667-1696), dalam sebuah perang saudara mengalahkan Karaeng Mallongbasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangngape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana, maka Arung Palakka mewujudkan cita-citanya dalam bidangg social politik, yaitu memerintahkan La Patau kemenakannya, karena Arung Palakka sendiri tidak mempunyai anak, untuk memperistri putri raja Luwu yang bernama We Ummu Opu Larompong dan kemudian memperistrikan pula putri raja Gowa Sultan Abdul Jalil yang bernama I Mariyang karaeng Patukangang cucu Sultan Hasanuddin. Tujuan Arung Palakka ialah mempersatukan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan melalui ikatan kekeluargaan. Dan strategi ini cukup ampuh. Putri La Patau dari We Ummu, Batari Tojang Arung Timurung, menjadi raja atau Mangkau di Bone (1714-1715), selain itu ia juga menjadi Pajung di Luwu dan datuk di Soppeng. Adapun anak-anak La Patau dari I Mariyang karaeng Patukangang :
1. La Padang Sejati To Appaware Palakka Matinroe Ri Beulak menjadi Mangkau Bone ke 18 dan Datu Soppeng (1715-1720)
2. La Pareppa To Sappewalie Mattinroe Ri Sombo opu menjadi Mangkau Bone ke 19 (1720-1724), sebelumnya beliau menjadi Somba Ri Gowa ke 20 (1709-1712).
3. La panaungi To Appawawoi Arung mampu Mattinroe Ri Bisei menjadi Mangkau Bone ke 20.
4. La Tomasonge Jaliluddin Abdul Rajab Datu Baringang Mattinroe Ri Mallimongang menjadi Mangkau Bone ke 22 (1749-1775) dan atu Soppeng (1938-1749).
Demikianlah taktik dan startegi “kerukunan dalam keluarga” menjadi pukulan berat terhadap penguasa colonial Belanda, maka mereka tidak punya cara lain melawannya selain mengeluarkan senjata ampuh mereka: Devide Et Impera (politik pecah belah).